Malaikat Juga Tahu
Sepuluh tahun silam, ketika hari mulai memasuki senja dan aku masih termenung di dalam bus kota.
Masih mengenakan seragam sekolah yang teramat lusuh sembari mengamati jalanan yang riuh bergemuruh.
Masih mengenakan seragam sekolah yang teramat lusuh sembari mengamati jalanan yang riuh bergemuruh.
Jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 17.15, adzan maghrib sebentar lagi berkumandang.
Tiba-tiba seorang pengamen muda memasuki bus sembari membawa sebuah
gitar, berhenti tepat di samping tempat dudukku, lantas mulai
menyanyikan satu lagu yang belum pernah ku dengarkan sebelumnya.
Pandanganku masih tertuju pada suasana jalan raya yang di penuhi oleh
para pekerja hendak pulang ke rumah selepas mencari nafkah. Beberapa
detik kemudian, petikan gitar mulai mengalun, suara sang pengamen mulai
terdengar, melantunkan lagu dengan lirik yang tak biasa namun mempunyai
makna yang sungguh luar biasa;
Malaikat Juga Tahu.
Benakku hanyut, seketika terlintas keadaan Bapak yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit, dilengkapi selang infus beserta Medical Oxygen Regulator.
Sudah hampir satu tahun Bapak berjuang melawan penyakit paru-paru; Chronic Obstructive Pulmonary Disease, dan
sudah 2 pekan Bapak terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit.
Tubuh Bapak semakin hari semakin kurus, wajah keriputnya nampak jelas
terlihat, matanya sayu, dan kakinya sulit sekali melangkah.
“Nduk, Bapak kritis, cepat ke rumah sakit.”
Pesan singkat dari ibu yang masuk ke ponselku seketika membuyarkan
lamunan, sang pengamen masih melantunkan lagunya. Tanpa membutuhkan
waktu lama bus berhenti tepat di depan gedung rumah sakit tempat Bapak
di rawat, aku segera turun dengan langkah tergesa-gesa, orang-orang di sekitarku menatapku penuh heran tanpa berani bertanya.
Aku berlari menuju kamar rawat Bapak, perasaanku tak karuan, langkahku
tertahan di depan pintu kamar, seketika ibu menghambur memelukku,
erat... sangat erat. Ibu menangis sejadi-jadinya.
“Buk, Bapak kenapa?” Suaraku parau, berusaha menenangkan ibu.
“Bapak meninggal...” Aku merasakan air mata ibu jatuh membasahi baju seragamku.
Aku terpaku, sekujur tubuhku terasa lemas. Air mata yang sedari tadi kubendung akhirnya tumpah juga. Deras, dan semakin deras.
***
Sepuluh tahun telah berlalu, hari ini aku telah menjelma menjadi gadis
berusia 24 tahun yang selalu merindukan sosok seorang Bapak; Pria
pertama yang membuatku jatuh hati. Sosok yang tidak pernah sekalipun
mengeluh di depan putra-putrinya, meskipun aku tahu beliau menanggung
beban yang luar biasa beratnya, sosok yang selalu bersedia menemaniku
menyelesaikan tugas dari guru hingga larut malam, sosok yang selalu
bangun di penghujung sepertiga malam untuk menunaikan shalat tahajud dan
mendoakan putra-putrinya, sosok yang gemar menyanyikan lagu-lagu indah
sebelum mataku terlelap.
Aku tahu Bapak selalu ada disini, menyertai setiap langkahku, menguatkan
ketika aku rapuh dan terjatuh. Memang tidak secara fisik, namun
kehadiran Bapak akan senantiasa abadi dalam hati.
Bapak malaikatku, pria paling tampan dengan hati paling baik yang pernah
ku temui. Bapak terbaik yang dimiliki oleh gadis sepertiku.
Jika saat ini Bapak bisa melihatku dari surga, aku ingin memberitahu
padanya bahwa ada satu lagu yang benar-benar membuatku hanyut dalam
setiap lirik indahnya, ada satu lagu yang tak sengaja ku dengar di dalam
bus kota sebelum Bapak meninggalkanku untuk selamanya, ada satu lagu
penuh haru yang selalu menyentak fikiranku, membuatku tersadar bahwa
kasih sayang Bapak padaku begitu besar, tak pernah membiarkan anak
perempuan satu-satunya di sakiti oleh siapapun. Pesan dari Bapak yang
masih kuingat sampai detik ini:
“Jika ada laki-laki yang menyakitimu, ingatlah bahwa Bapak tidak akan
pernah menyakitimu. Jika Bapak sudah tidak ada lagi di dunia ini, Bapak
percaya kamu gadis tangguh yang mampu melewati segala lika-liku
perjalanan hidup ini seorang diri.”
Lagu itu berjudul Malaikat Juga Tahu.
Malaikat Juga Tahu membawaku lebih jauh, menjadikanku gadis tangguh
sejak usiaku masih belia, di tinggalkan Bapak kemudian Ibu saat usiaku
belum genap tujuh belas tahun membuatku mengerti betapa beratnya memikul
beban hidup ini, mengharuskanku membanting tulang untuk bertahan hidup
di dunia yang fana ini.
Malaikat Juga Tahu mengalun pelan, memenuhi setiap sudut ruangan, membuat air mataku mengalir deras tak terkendalikan.
Bapak...
Malaikat Juga Tahu,
Kaulah juaranya.
Komentar
Posting Komentar