Aku pamit


Aku sudah berada pada titik yang kusebut,
kecewa.

Kini, saat ini, aku sudah terlalu lelah pada keadaan ini, pada keadaan yang membuatku terbelenggu pada ikatan yang semakin lama kurasa semakin menyakiti. Aku ingin melepaskan, seutuhnya. Aku ingin pergi darimu, selamanya.
Aku pamit.
Aku pergi bukan berarti sudah tak lagi mencintaimu.
Ketahuilah, aku teramat mencintaimu, aku sungguh mengharapkanmu, berharap bahwa kamulah yang terakhir dalam hidupku, seperti yang pernah kau utarakan kala itu; kamu ingin membawaku ke mahligai pernikahan. Aku menginginkan kamu yang dulu, seseorang yang begitu gencarnya mengejar dan memperjuangkanku hingga aku  berkata -iya- setelah kamu memintaku untuk menjadi kekasihmu.
Namun kini? tidakkah kamu ingat berapa kali kamu mengirimiku pesan dalam sehari ketika dulu kamu masih berusaha mendapatkan hatiku? Tidakkah kamu ingat pernah memperlakukanku bak seorang putri? --begitu manis, dan romantis--
Namun sayangnya, semua hal manis yang pernah kau lakukan hanya berlangsung sekejap saja.

Berkali-kali kamu menghempaskanku, mengabaikanku, kemudian kamu hadir kembali, masih ku terima dengan berlandaskan 'terlalu dan terlanjur cinta'. Sikapmu kembali manis, namun tak lama berselang kamu menghempasku kembali, kamu menghilang, tanpa kabar.
Aku masih menantimu, menanti sapa hangat darimu lagi, dan namamu yang tak letihnya kusebut dalam doa-doa sepertiga malamku di hadapan Sang maha pencipta sembari berderai air mata.
Beberapa bulan kemudian kamu hadir kembali, mencariku kembali, mengajakku berjumpa kembali. Kamu tahu? aku girang setengah mati. Berharap kau tak akan melepasku untuk kesekian kali. Namun nyatanya tak seperti harapku, kamu menghilang lagi, mengabaikanku lagi.
Dan pada akhirnya dapat kusimpulkan; kamu mencariku karena ingin mendapatkan apa yang kamu mau, lalu menghempaskanku setelah berhasil mendapatkan apa yang kau mau. Semudah itu kau porak-porandakan hatiku, menjadikan hatiku seperti sebuah permainan yang dengan gampangnya kau tinggalkan bahkan patahkan setelah kau merasa bosan. Pergi, datang, lalu pergi lagi.

Ratusan detik telah berlalu, namun segala macam perihalmu belum berlalu. Ingatan tentang apa saja yang pernah kau lakukan masih melekat, masih tersimpan rapat-rapat. Dan kini, aku membiarkannya hangus seiring waktu yang tergerus. Maaf, aku sudah terlalu muak oleh sebab perlakuanmu.
Kemarin, aku masih memberi ruang untukmu kembali. Kemarin, aku masih mau menerima rengkuhan jemarimu. Kemarin, aku masih memberimu kesempatan untuk berbalik arah, kemudian menggenggam hatiku kembali dan tak membiarkan hatiku patah untuk kesekian kali. Namun pada kenyataannya kau tak seperti yang kuharapkan. Kau datang dan pergi sesuka hatimu tanpa peduli bagaimana parahnya lukaku.

Ku utarakan sekali lagi, aku sudah berada pada puncak rasa kecewa. Rasa yang menghantarkanku pada ke-tidakpeduli-an terhadapmu lagi, rasa yang menggiringku pada keputusan bulatku; Aku pergi, aku pamit. Usai sudah sampai disini, dan anggaplah saja aku sudah mati.


***


Terhitung sejak hari Rabu pagi itu, setelah kamu menyuruhku pulang seorang diri, aku sudah tak mengharapkan sosokmu kembali lagi, aku tak membiarkanmu mengetuk pintu hatiku lagi, aku sudah tak peduli dengan kehadiranmu lagi.
Aku masih ingat, pagi itu, kamu berlalu begitu saja, tanpa sepatah kata maaf yang terlontar dari bibirmu. Bukankah aku sudah memintamu untuk mengantarkanku? lantas mengapa dengan begitu tega kau biarkan aku melangkah seorang diri? Bahkan setelah itupun kau tak menanyakan bagaimana keadaanku, apakah aku sudah tiba di rumah atau belum. Hingga detik ini, tak ada lagi kabar darimu. Kau ingin tahu bagaimana rasaku?
Bayangkan ketika kulitmu tersayat pisau belati.
Sakit, sakit sekali.


Jangan pernah mencariku lagi. Maaf, hatiku tak se-tegar itu untuk menerimamu kembali setelah kau campakkan aku berkali-kali. Aku mencintaimu, dan sangat ingin kau mempertahankan serta memperjuangkanku. Namun kemudian aku menyadari, tak semua yang kuinginkan bisa menjadi kenyataan. 
Anggap saja pertemuan kita kemarin lusa adalah pertemuan kita yang terakhir kali.
Biarkan aku menyembuhkan lukaku seorang diri dan menata hatiku kembali untuk seseorang di luar sana yang sudah di gariskan untukku.

Aku pergi.

Maaf jika tanpa sadar aku pernah melukaimu.
Terima kasih untuk setiap hal indah yang pernah kau beri.


**





Dari aku, 
Perempuan yang hatinya sudah kau patahkan, 
berkali-kali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kamu, apa kabar?

Teruntuk kamu, kekasihku.