Kenanglah aku



Bagaimana kabarmu? Sedang apa kamu sekarang? Apakah kamu sudah menikah? Dimana kamu sekarang? Apakah kamu masih mengingatku? Apakah kamu pernah berkeinginan untuk mencariku, untuk menghubungiku? Apakah kamu sudah bahagia dengan kehidupanmu sekarang? Apakah...



Tadi sore, ketika aku sedang berada di dalam bus kota menuju kampung halaman, seorang pengamen muda tiba-tiba menarik perhatianku, bukan karena suaranya, bukan karena parasnya, melainkan lagunya. Ya, lagunya.
Lagu itu seketika mengingatkanku pada sebuah kenangan lima tahun silam, ingatanku berjalan mundur, membawaku pada hari terakhir kau memutuskan untuk mengakhiri segalanya, menyudahi perjalanan yang telah kita tempuh bersama namun pada akhirnya Semesta tak berpihak pada kita. Pada akhirnya kita berjalan masing-masing, seperti orang asing, lalu saling memunggungi satu sama lain.

Saat ini, aku sedang memutar video yang kau kirimkan padaku melalui aplikasi chatting— whatsapp, 5 tahun yang lalu. Video itu masih tersimpan di ponselku, pernah terlintas niat untuk menghapusnya, membuang jauh-jauh segala tentangmu dari hidupku, namun setelah aku berfikir ulang, aku mengurungkan niat untuk menghapusnya. Biarlah video itu menjadi satu-satunya kenangan darimu untukku sebelum segalanya lenyap, tubuhmu tak lagi mampu ku dekap, dan matamu tak lagi ku tatap.

Lagu dari Naff—kenanglah aku, menjadi lagu pamungkas yang kamu nyanyikan untukku.
"Kalau kamu kangen, bisa buka video ini. Buat nemenin tidur juga bisa, hehe." Begitulah pesan yang kau kirimkan padaku disertai dengan sebuah video yang menampilkan parasmu tengah bernyanyi sembari memainkan gitar andalanmu. Kamu begitu tampan, dengan kaus berwarna cobalt blue dan senyum yang... ehem— mempesona.

Ah sial, ada yang basah mengalir dari mataku. Seketika sejuta hal yang pernah kulalui bersamamu terpampang jelas di benakku. Apapun itu yang berkaitan denganmu seketika merasuk kedalam otakku. Lima tahun telah berlalu, apa kabar kamu? Bagaimana kabar ibu dan adik-adikmu? Apakah kalian baik-baik saja?
Pertanyaan-pertanyaan itu menumpuk di kepalaku. Jujur kuakui aku merindukanmu, merindukan ibu dan adik-adikmu. Adikmu, Sekar, pasti kini dia telah menjelma menjadi gadis cantik yang mulai tumbuh dewasa. Aku masih ingat dulu ketika dia masih SD, aku sering bermain berdua dengannya, menghabiskan akhir pekan bersama kalian adalah memori yang tak pernah bisa kulupakan, masih bergelayut dalam benakku meski kini kita tak lagi bersama, meski kini langkah kita sudah tak lagi sejalan, meski kini aku telah menjadi milik orang lain.

Barangkali, jika kau tak sengaja membaca tulisanku ini, aku ingin menyampaikan bahwa seorang pria berdarah Sunda telah meminangku, memintaku untuk menjadi pendamping hidupnya sampai akhir kelak.
Tiga pekan lagi, aku akan melangsungkan pesta yang di idam-idamkan banyak orang, yakni pernikahan.

Pernikahan. Satu kata yang dulu seringkali kita perdebatkan, seringkali menjadi topik pembahasan yang pada akhirnya menuai polemik. Kamu yang pernah datang menemui keluargaku untuk meminta restu, namun ternyata kita tak dikehendaki Tuhan untuk bersatu. Ya, perjalanan panjang yang penuh lika-liku pada akhirnya menghantarkan kita pada perpisahan. Perpisahan terjadi disaat rasa cintaku padamu sudah terlalu dalam, kau harus tahu bahwa dulu aku pernah menangisimu bermalam-malam. Mengapa kamu memilih untuk melepaskan tanpa peduli hatiku yang berantakan? Waktu itu, aku hanya menginginkan kamu bertahan, bertahan padaku dalam keadaan sesulit apapun. Namun, kamu memilih untuk melepaskan, kemudian seiring waktu berjalan tak lagi terdengar bagaimana kabar mengenaimu, nomor ponselmu juga sudah tak bisa lagi kuhubungi. Waktu itu, aku begitu hancur, sehancur-hancurnya. Tahukah kamu? Apakah kau juga merasakan sepertiku?

Saat ini, ketika aku menulis ini, ada secercah harapan aku bisa bertemu denganmu kembali, menatap sorot kedua bola matamu seperti dulu lagi, menjabat jemarimu seperti saat pertama kali kita bertemu dan berkenalan. Bertemu denganmu, dan aku akan mengatakan bahwa sebentar lagi aku akan melangkah ke pelaminan, menyuruhmu menghadirinya. Jujur, ini terlalu berat untuk kukatakan, mengingat dulu kita pernah membahas pesta pernikahan seperti apa yang kita impikan, akan tinggal dimana setelah kita menikah, berapa anak yang kita inginkan. Ah, banyak sekali perihal pernikahan yang pernah kita bicarakan. Sembari menggenggam jemariku erat, kamu berkata: "Aku mencintaimu, aku ingin menikah denganmu."

Tidakkah kamu ingat pernah berkata demikian padaku?
Katamu, kau menginginkan aku selalu ada di dalam hidupmu, namun mengapa kau memilih untuk tak lagi mempertahankan? Sampai sekarang, aku tak habis pikir, mengapa dulu kau memilih menyerah disaat hubungan kita sudah terlalu jauh melangkah.


"Mungkin suatu saat nanti
kau temukan bahagia meski tak bersamaku
bila nanti kau tak kembali
kenanglah aku sepanjang hidupmu..."


Buliran air bening jatuh tak terkendali dari kedua sudut mataku, suaramu masih terdengar, masih kuputar berulang-ulang. 
Segalanya yang tertata rapi di kamar ini dulu pernah menjadi saksi bisu bahwa aku pernah menangis bermalam-malam selepas kepergianmu. Dan kini, aku kembali menangisimu, bukan karena tak terima kau pergi meninggalkanku seperti cerita 5 tahun yang lalu, melainkan karena aku kembali memberanikan diri untuk mendengar dan melihat wajahmu meskipun hanya dalam bentuk video. Aku kembali menatap parasmu disaat sebentar lagi aku akan bersanding dengan sosok pria—yang dulu aku mengharapkan pria itu adalah...

dirimu.


***





Dari aku,
perempuan yang dulu selalu merapalkan namamu dalam setiap sujud malamnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku pamit

Kamu, apa kabar?

Teruntuk kamu, kekasihku.